Assalammualaikum
Hai hai semuaaaa, apa kabar?
Mudah-mudahan baik semua yaaaaa…
(J^.^)J Amin ya Rabb
Minggu yang lalu aku baca
kumpulan tulisannya mbak Linda Christanty di bukunya yang berjudul “Jangan
Tulis Kami Teroris” itu. Hihi entah kenapa begitu baca kumpulan cerpennya mbak
Linda di buku “Rahasia Selma ” aku jadi
tergila-gila dengan gaya
menulisnya mbak yang satu ini. Memang cerpen-cerpennya bisa dibilang berat sih
kalo menurut ukuran cara berpikirku, tapi entah kenapa suka aja ngebacanya.
Mungkin salah satunya ya karena beberapa ceritanya berlatar di Aceh kali ya,
hihi *pembenaran banget yah :p
Nah di bukunya kali ini sih
berisi tentang beberapa tulisan mbak Linda yang bercerita tentang ketidakadilan
dan kesewenang-wenangan yang sering mengatasnamakan suku, bangsa, agama, komunisme,
nasionalisme bahkan tentang demokrasi. Lagi-lagi aku tertarik dengan buku ini
karena beberapa menceritakan tentang Aceh juga sih. Hihi jujur pengetahuanku
tentang Aceh terutama Takengon yang merupakan tanah kelahiranku itu masih
sangat-sangat dangkal, hehe… Oia mbak Linda udah pernah ke Takengon juga rupanya
*dadah-dadah ke mbak Linda
Di beberapa tulisannya, mbak
Linda juga membahas tentang situasi beberapa daerah saat rusuh-rusuhnya Aceh. Ya
tentu aja membahas tentang GAM juga sih. Hmm…
kalo membahas tentang GAM masih sering merinding disko juga sih. Aku
juga pengen bagi beberapa pengalaman dan apa yang aku rasain saat itu nih.
Keluargaku jelas-jelas bersuku
Jawa, tau sendiri donk semasa rusuh itu kami-kami yang bersuku Jawa sering jadi
sasaran entah itu penculikan, pembunuhan dan pemerasan, Aku sendiri sampai
sekarang bingung sih kenapa kami yang jadi sasarannya. Padahal kan kalo dikaji nggak
semua orang Jawa itu merugikan rakyat Aceh. Kebanyakan kami memang sudah berada
di Aceh sejak masa penjajahan Belanda dulu. Aku aja kalo ditanya dimana
kampungku di pulau Jawa sana
bingung mau jawab apa. Karena memang keluarga kami memang sudah beranak cucu di
Aceh.
Alhamdulillah kami tinggal di Takengon
yang memang pada masa kerusuhan itu tidak merupakan zona panas di Aceh. Karena
memang orang Takengon yang umumnya bersuku Gayo tidak terlalu mendukung gerakan
mereka jadi masih sedikit merasa aman lah. Tapi ya ada juga beberapa saudaraku
yang hilang dan rumahnya dibakar dan harus mengungsi ke Medan karena takut. Saat itu kami kebanyakan
menyebutnya eksodus. Yah walau sedikit merasa aman, kami juga sering diteror
lewat telepon rumah, karena memang masa itu belum ada jaringan telepon seluler
disana. Ntar tengah malam telepon rumah berdering, eh pas diangkat nggak ada
suaranya. Untung papaku bernama Hamid dan nggak berbau-bau nama Jawa, malah
banyak yang mengira kalau papa bersuku Gayo sampai sekarang. Soalnya semua
laki-laki yang namanya berbau-bau Jawa, seperti Susanto, Muliono, dan sejenisnya pasti resah dan takut sama GAM
Yah kalo dibilang trauma-trauma
amat juga nggak sih akunya, karena masih banyak saudara kita yang berada di
daerah Aceh lain yang ngalamin hal yang jauh lebih buruk dari yang kami rasain.
Aku ingat terakhir kali keluarga kami bepergian itu waktu aku duduk di kelas V SD ,
karena sejak itu di jalan juga nggak aman. Jalan ke Bireun sering diblokir
waktu itu, padahal itu adalah jalur tranportasi utama kalau mau keluar dari
Takengon menuju Banda Aceh ataupun Medan .
Kalau udah diblokir tuh jalan, harga sembako juga langsung naik masa itu. Yang
paling sedih sih waktu aku duduk di kelas X SMA, dalam perjalanan menuju Medan , travel yang kami
naikin tiba-tiba diberhentikan oleh sekelompok orang bersenjata. Begitu mobil
berhenti, para laki-laki yang berada di mobil langsung disuruh turun tuh,
termasuk papaku. Padahal waktu itu kondisi papaku masih belum pulih pasca
operasi tumor di kepalanya dan memang tujuan kami ke Medan juga untuk control ke dokter. Padahal
jelas-jelas papaku juga masih susah jalan dan bicara waktu itu, tapi tetap aja
mereka maksa kalo papaku harus turun. Akhirnya mamaku bersikeras untuk ikut
turun. Udah gitu mobil kami disuruh jalan terus sama mereka dan beberapa dari
mereka juga ikutan ke mobil kami. Duh pikiran aku sama Mimi waktu itu udah
macem-macem aja dah. “Huuuuaaaa bentar lagi kami udah nggak punya papa mama
lagi nih” batinku dalam hati. Alhamdulillah mama papaku dilepasin juga
akhirnya. Beuh dari situ kami ya pada trauma semua, terutama papa yang memang
kondisi fisik dan psikisnya juga masih lemah pasca operasi itu, ditambah lagi
dengan kejadian itu, lengkaplah sudah. Akhirnya 2 minggu setelahnya kami baru
berani balik ke Takengon lagi.
Waktu Pemerintah Indonesia dan
GAM mengakhiri peperangan mereka kami bersyukur banget. Karena dari konflik
berkepanjangan itu banyak sekali rakyat Aceh yang dirugikan, mulai dari nyawa,
pendidikan, harta, kebebasan dari berbagai aspek, dan masih banyak lagi.
Mudah-mudahan Aceh tetap damai ya teman-teman.
Jujur aku sangat membenci perang,
dendam, dan kerusuhan. Saat itu terjadi yang paling didambakan sudah pasti
adalah perdamaian. Siapa coba yang tidak suka dengan perdamaian? Dari
pengalaman-pengalamanku dari lahir dan besar disana, aku paling benci
perbedaan. Apalagi kalau yang dibahas adalah perbedaan suku dan agama. Kalian
tahu, sampai sekarang kadang-kadang aku masih takut mengaku kalau aku ini
bersuku Jawa. Terkadang tanpa disadari rasa takut mengaku kalau aku ini Jawa
itu masih sering muncul kalo yang bertanya itu adalah orang yang berasal dari
aceh. Dulu semasa rusuh, aku sering pengen teriak kalo ada yang membahas-bahas
suku “Kalo kami bersuku Jawa memangnya kenapa?.” Tapi ya tetap aja jatuhnya aku
bungkam. Gila booo… siapa juga yang pengen ntar kitanya tiba-tiba ngilang dan
tinggal nama doank?
Duh ayo donk jangan rusuh-rusuh
lagi di sudut manapun di tanah Indonesia
dan di seluruh dunia ini. Damai itu indah tau…
*Mohon doanya teman-teman, semoga
tulisan ini nggak bikin aku ngilang tiba-tiba dan tinggal nama doank ntar :p
Pict from here